Entri Populer

Jumat, 18 Februari 2011

Martini ( Prosa di Nada Terendah )

Jika besok kemuning telah menyebar ke seluruh sudut kota, Martini berjanji untuk berdiri menyambut pagi, bersyukur lebih lama dari biasanya. Asalkan pagi mau bersikap ramah, dan kemuning berjatuhan ringan, sopan.

Martini memang memabukkan, terutama bagi kalangan Adam yang suka menebak dan bersyak wasangka. Retorika Adam – Hawa yang telah bertahan ratusan tahun lamanya, mampu hilang sekejap dan terjungkal balik karena bibir merah Martini. Menggelembung besar di angan-angan lelaki, lalu pecah di udara, dan jatuh tak bersisa di atas tanah gersang. Semua oleh karena bibir merah yang selalu basah dan asin.

Sejak kecil, alur hidup Martini tidak berjalan biasa-biasa saja. Selalu ada konflik besar dan kecil yang rajin berdatangan di buku-buku usianya. Martini kecil yang berusia 7 tahun, pernah dituduh membunuh teman sekolahnya. Hanya Martini dan kawan lelakinya waktu itu, bermain dan berlari di sawah-sawah desanya, menangkap kupu-kupu bersayap indah. Bukan salah Martini bila ia berlari lebih kencang dari bocah lelaki ingusan itu, bukan salahnya menenggor tubuh ringkih bocah lelaki hingga terjerembab masuk ke dalam sumur sedalam 30 meter. Dan, seperti biasanya, penduduk desa ramai berbincang, mencari kambing hitam, menentukan satu nama yang hitam; Martini.

Martini diasingkan, digorok pribadinya dengan cara tak diajak bicara oleh teman-teman sebayanya sampai umur tujuh belas tahun. Pada tujuh belas tahun Martini apes karena bapak ibunya suka saling pukul, yang ibu dihantam ke tembok, yang ayah ditusuk dengan kata kasar. Martini tersungkur, tiga tahun lamanya tak pernah menikmati enaknya dengkur. Coba saja Martini di kota, pasti sudah dibawa ke psikiater handal, agar tidak gila tahun depan.

Ibu Martini lari ke kota, bapak Martini jadi tukang kawin di desa, Martini semedi di lumbung sawah. Sampai pada umur dua puluh tahun, pemuda gagah sarjana muda, memutuskan untuk memetik ranum eksotika keluguan Martini, menikahinya atas nama Tuhan, waktu itu Tuhan yang sebenarnya.

Martini menikah dan tinggal di kota, bersumpah menjadi istri seksi yang mulia. “Aku harus sempurna, paling tidak menjadi wanita yang indah seadanya, untuk suami tercinta”. Angen-angen Martini menjadi sempurna bagi suaminya terus dinaungkan dalam tiap do’a, tiap sujud, tiap sepertiga malam. Martini merengkuh dendam cinta pada...tiap luka, tiap nada tinggi mulut suaminya, tiap benturan kata goblok yang tak semestinya, tiap cita-cita yang tersayat luka. Martini teguh di singasananya. Sampai suatu saat ia benar-benar lumpuh. Kakinya patah oleh suaminya. Diagnosa kadiovaskuler yang dihinggapi daging asing yang membesar tiap detik jaringan baru beroperasi, lumpuh jiwa raganya. Martini hilang bibir merah meronanya. Lumpuh. Sang suami menjauh, sama seperti bapaknya yang tak memberikan kehangatan rengkuh.

“Aku harus berjalan lagi, dengan samudera kerelaan yang kian panjang..panjang tak terukur satuan meter..panjang melebihi rambut-rambut wanita se-dunia..” Martini ber-angen-angen sekali lagi. Merawat lukanya satu per satu, menembel sayatan atas nama cinta yang kian menjalar sampai ke tempurung kepala.
 
Martini tiga puluh tiga usianya. Masih merah bibirnya. Menjadi semakin pintar merawat diri, membentuk tubuh sensitif yang di dalamnya terkuak rangsangan sedahsyat gempa alam semesta. Martini tidak jadi pelacur. Martini tidak putus asa. Ia sekarang kaya karena studinya. Ia tidak perlu menderita, atau membalas kelakuan lelaki yang dikenalnya di kelokan hidup. Martini hanya punya satu suami. Yang tidak perlu ia siksa dan terus ia cintai. Hanya punya suami yang terpekur di sudut kamar depan rumahnya, ngiler sebanyak-banyaknya, membenturkan kepala sekeras-kerasnya. Sesekali lehernya dijilat Diwut, anjing kampong berkutu yang tiap hari bulunya rontok segenggam tangan. Membusuk bersama kentut terasing di dunia. 

 Surabaya, 15 Februari 2010
*****pulang dari kremil-sesak napas-ingat lampu kamar merah-perah-menangis merah- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar