Entri Populer

Minggu, 20 Februari 2011

escape to karimun jawa

dinner must much

when all you can see is sea
we meet, we laugh, we had the time
gimme some fresh air

Jumat, 18 Februari 2011

Martini ( Prosa di Nada Terendah )

Jika besok kemuning telah menyebar ke seluruh sudut kota, Martini berjanji untuk berdiri menyambut pagi, bersyukur lebih lama dari biasanya. Asalkan pagi mau bersikap ramah, dan kemuning berjatuhan ringan, sopan.

Martini memang memabukkan, terutama bagi kalangan Adam yang suka menebak dan bersyak wasangka. Retorika Adam – Hawa yang telah bertahan ratusan tahun lamanya, mampu hilang sekejap dan terjungkal balik karena bibir merah Martini. Menggelembung besar di angan-angan lelaki, lalu pecah di udara, dan jatuh tak bersisa di atas tanah gersang. Semua oleh karena bibir merah yang selalu basah dan asin.

Sejak kecil, alur hidup Martini tidak berjalan biasa-biasa saja. Selalu ada konflik besar dan kecil yang rajin berdatangan di buku-buku usianya. Martini kecil yang berusia 7 tahun, pernah dituduh membunuh teman sekolahnya. Hanya Martini dan kawan lelakinya waktu itu, bermain dan berlari di sawah-sawah desanya, menangkap kupu-kupu bersayap indah. Bukan salah Martini bila ia berlari lebih kencang dari bocah lelaki ingusan itu, bukan salahnya menenggor tubuh ringkih bocah lelaki hingga terjerembab masuk ke dalam sumur sedalam 30 meter. Dan, seperti biasanya, penduduk desa ramai berbincang, mencari kambing hitam, menentukan satu nama yang hitam; Martini.

Martini diasingkan, digorok pribadinya dengan cara tak diajak bicara oleh teman-teman sebayanya sampai umur tujuh belas tahun. Pada tujuh belas tahun Martini apes karena bapak ibunya suka saling pukul, yang ibu dihantam ke tembok, yang ayah ditusuk dengan kata kasar. Martini tersungkur, tiga tahun lamanya tak pernah menikmati enaknya dengkur. Coba saja Martini di kota, pasti sudah dibawa ke psikiater handal, agar tidak gila tahun depan.

Ibu Martini lari ke kota, bapak Martini jadi tukang kawin di desa, Martini semedi di lumbung sawah. Sampai pada umur dua puluh tahun, pemuda gagah sarjana muda, memutuskan untuk memetik ranum eksotika keluguan Martini, menikahinya atas nama Tuhan, waktu itu Tuhan yang sebenarnya.

Martini menikah dan tinggal di kota, bersumpah menjadi istri seksi yang mulia. “Aku harus sempurna, paling tidak menjadi wanita yang indah seadanya, untuk suami tercinta”. Angen-angen Martini menjadi sempurna bagi suaminya terus dinaungkan dalam tiap do’a, tiap sujud, tiap sepertiga malam. Martini merengkuh dendam cinta pada...tiap luka, tiap nada tinggi mulut suaminya, tiap benturan kata goblok yang tak semestinya, tiap cita-cita yang tersayat luka. Martini teguh di singasananya. Sampai suatu saat ia benar-benar lumpuh. Kakinya patah oleh suaminya. Diagnosa kadiovaskuler yang dihinggapi daging asing yang membesar tiap detik jaringan baru beroperasi, lumpuh jiwa raganya. Martini hilang bibir merah meronanya. Lumpuh. Sang suami menjauh, sama seperti bapaknya yang tak memberikan kehangatan rengkuh.

“Aku harus berjalan lagi, dengan samudera kerelaan yang kian panjang..panjang tak terukur satuan meter..panjang melebihi rambut-rambut wanita se-dunia..” Martini ber-angen-angen sekali lagi. Merawat lukanya satu per satu, menembel sayatan atas nama cinta yang kian menjalar sampai ke tempurung kepala.
 
Martini tiga puluh tiga usianya. Masih merah bibirnya. Menjadi semakin pintar merawat diri, membentuk tubuh sensitif yang di dalamnya terkuak rangsangan sedahsyat gempa alam semesta. Martini tidak jadi pelacur. Martini tidak putus asa. Ia sekarang kaya karena studinya. Ia tidak perlu menderita, atau membalas kelakuan lelaki yang dikenalnya di kelokan hidup. Martini hanya punya satu suami. Yang tidak perlu ia siksa dan terus ia cintai. Hanya punya suami yang terpekur di sudut kamar depan rumahnya, ngiler sebanyak-banyaknya, membenturkan kepala sekeras-kerasnya. Sesekali lehernya dijilat Diwut, anjing kampong berkutu yang tiap hari bulunya rontok segenggam tangan. Membusuk bersama kentut terasing di dunia. 

 Surabaya, 15 Februari 2010
*****pulang dari kremil-sesak napas-ingat lampu kamar merah-perah-menangis merah- 

Pada Yang Bukan Nisbi: Anak Perempuanku Mati

Biarpun tinggi tinggi lelap sang bumi
Hentang hentang dataran padang 
Tak habis memakan makna pun alas kiasan, anak perempuanku
Setelahnya
Walau sesumbar hambar lantang gemertak lelaki pemanggul rantang, pemetik kacang panjang, sepanjang mawas awas
Berjalan tertunduk jua ia jika ditanya alpanya
Bersarang angkuh rengkuh merangkul benih
Setara jingga yang menantang perih
Jika tawa mengancam lelaku gegabah
Mencaci menyapa pagi dini
Menyampah di segar embun nan segala rangkuman tatakan
Segera kembali kau dan ia pada diri
Pada naluri hati
Pada sapaan yang paling malam
Pada yang bukan nisbi
Pada yang pasti terlukai
Sebelum senja 
Atau setelahnya
Jiwa anak perempuanku mati.

Selasa, 15 Februari 2011

Today the earth is too young

Today the earth is too young
To burn
To blackness
To lie movement
Solid of agony 
Silent plotted
And there was peace
Anguish

Human Race

People were sitting, standing, walking
They were sleeping, talking, loving
While I see the reflections leap
Empty faces brush past me
They are lost in sadness and pain
So all that is without and in
And meets all that is
Around thou and me
They should buy a lucky charm 
Then walk into corridors of fantasy
In a cold and darkened room 
And "good luck" to you 
I fly in a senseless cosmos. 

Selasa, 08 Februari 2011

Serak

Jujur menghentak,
sontak berteriak,
suaraku serak.

Akut, Akur, nan Akun

Jual aku sayang, malam ini
Jika tak kunjung lunas seluruh hutang-hutangku
Tukarkan raga dengan kerling-kerling rupiah
Toh cukup menggoda dua-duanya
Cermin liberalisasi nan tegas
Lakuku bak binatang meranggas
Sumbangkan puas pada putik berkuas-kuas
Kecuali kepunyaanku yang halus; terhalus
Yang jika digenggam erat, ia berkarat
Jika dilepas, ia terlunta-lunta di udara
Kepunyaanku yang merdeka, cerah, cerca hakikat makna
Jual aku kapan saja, hanya sisakan hatiku ditempatnya.


Surabaya
di atas atap yang cukup tinggi untuk melihat malam - sesak - isak

Redup, Sesaat.

Apa jadinya jika dua planet berbeda orbit saling berkedip memberi isyarat, sementara tidak ada satu carapun yang membuat kedua benda itu berputar seirama - searah jarum jam. Maka satu-satunya cara agar mereka bisa saling mendekat adalah dengan saling bertukar cahaya ; mengedipkan sinar yang redup dan sesaat.
Redup
dan
sesaat.

Surabaya, 15 Oktober 2009
"Mari terus bertukar cahaya. Walau redup. Walau sesaat."

Lonely in the Crowded


Kurasa aku adalah orang paling beruntung di dunia. Cuma aku yang tiap hari leluasa melihat lalu lalang kendaraan yang mengarah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan hanya duduk di ruangan ber-AC, tersenyum seadanya, dan melayani semampunya, aku mendapatkan kesenangan yang ternilai harganya. Tapi tak jarang, aku mati kebosanan karena kepulan asap mereka.
Apa yang ada di dalam pikiran mereka? Saat melaju dengan kecepatan jauh di luar rambu jalanan? Atau ada apa di kepala mereka saat menyetir di hujan yang lebat, yang lebatnya mematahkan harapan, membunuh hangat genggaman. Selalu itu-itu saja pertanyaanku setiap hari berjalan.
Sesekali aku menangis. Saat benar-benar ingin pergi. Bukan iri pada mereka. Apalagi meludahi realita. Aku hanya ingin pergi berkendara. Di jalanan panjang berkilo-kilo meter yang menuju ke suatu tempat. Aku hanya ingin menikmati perjalanan.
Suatu terik di hari Sabtu, seorang pria mengumpat ke arahku. Mesin tiket otomatis yang baru dua bulan dipakai, mati tiba-tiba. Tidak berfungsi. Ma’afku tak diterima. Dan di saat-saat seperti ini pula, aku ingin berubah wujud menjadi mesin tiket otomatis. Yang bisa ON-OFF secara otomatis, bisa begitu saja digantikan ketika ‘ngambek’.
Aku ingin menangis kencang-kencang. Lalu berlari di pinggir jalanan panjang, mengambil kendara besiku, melajunya dengan angka tak terbatas. Menikmati perjalanan dengan penuh kemarahan.
Tapi saat lelaki itu berhenti mengumpat dengan sederet kata sia-sia, aku tetap duduk manis di ruangan kecilku. Saat mesin berhasil dioprek, saat petugas teknisi menundukkan kepala dengan hormat kepada lelaki itu, aku masih berada di ruang kecil ber-AC-ku. Tidak pergi kemana-mana. Tidak berkendara ke lain kota. Dan pada saat-saat seperti ini, ingin aku memaki para pengebut jalanan, jagoan-jagoan sok-sok-an. Karena bukan untuk tujuanlah jalan panjang ini dibuat. Karena seharusnya mereka menikmati lajunya. Menikmati perjalanan. Demi anganku yang bebas menguntit mereka kemana-mana. Dan ragaku yang tak pergi kemana-mana. 

*Iseng ngeliatin mbak-mas yang tugas di jalan tol..eheh..mereka hebat.. d^^b "plok plok plok!!"

Minggu, 06 Februari 2011

Adora Hiperbola

Sore sedang hujan. Kerumunan Arthopoda berebut menikmati mangsa.
"Hei...aku Adora..kulihat sudah dari tadi kamu duduk terpaku disini...boleh kutemani?" Si kecil bertanduk tajam memulai pertanyaan
"Hmm..Panggil saya Sengga..Manusia semakin hitam, darahnya semakin kelam..kotor..!" si hitam kurus berbintik menjawab.. dan ..
Percakapan mereka pun berlanjut..
"Sudah berapa banyak? Apakah lebih banyak dari kemarin?"
"Tidak begitu banyak..manusia sekarang sangat bodoh..darahnya kotor.."
"Apa kau meracuni mereka? Mana yang lebih kuat? Racunmu atau racunku?"
"Kita lihat saja, Adora.......Mereka membuatku sedih.."
Adora menatap sedih..memicingkan matanya dan merayap perlahan, mencengkeram dinding abu-abu di sebuah kamar yang ditinggal penghuninya.


Sore itu berlalu begitu saja. Mereka pulang sendiri-sendiri ke sarangnya. Berjanji untuk saling menyapa esok malam.
"Lihat..dia mulai gatal..haha...tak salah aku dipanggil bangsat..kepinding..atau busuk...lihat mereka..! Seperti tidak punya otak...seperti tak bisa berbuat apa-apa..!"
"Hhh...kau cantik, Adora..mereka yang lemah..melihatmu saja tak pernah..apalagi menyadari kecantikanmu..tapi kau kuat, hanya saja..kau beracun"
"Giliranmu tampan...berikan gatal yang berujung kematian pada mereka..."
"Kalau dia mati, kita menikah?"
"Pastiiiii..."

Selang sebulan, sang manusia sudah jadi mayat. Adora dan Sengga menikah atas nama cinta. Bersatu padu di bawah langit biru yang ceria. Berebut serpihan daki manusia dengan lahapnya.
Adora hamil anak pertama, diberi nama Momo...jangan tanya bentuknya...hampir seperti monster...Empunya racun gatal dari gen Ayah-Ibunya.

Di minggu-minggu berikutnya, banyak lagi yang jadi mayat di depan mereka. Perlahan..tapi pasti. Adora tersenyum puas. "Kini mereka melihatku..melihat ulahku..dan menghargai bahwa yang tak terlihat pun, bisa membunuh..yang tak teranggap, bisa mengkristalkan jiwa mereka dalam kesunyian..kematian. ..louse-borne epidemic typhus, relapsing fever, dan trench fever..aku mengkarantina keriangan dan kepedihan mereka yang terkadang hiperbola."

Halimun Hitung

Pada abdi tanpa nama, sebuah malam rela terpotong
Sebuah nyawa menjejer tanya yang mengungkit
Menatap apa saja selain senja
Kilasnya

Satu yang sempurna
Dalam balut apa adanya
Di warna abu-abu
Rupa jaman merenda

Pada abdi tanpa nama
Sedetik saja akan sia-sia
Jika tanpa sebuah peluk
Yang bebas jejalan alpa

Maka bebaslah mencinta
Di ruang panjang berakhir jendela
Yang menuntun pada angin,
di waktu kapan saja selain senja.

Haze

This world is too dark to see
You may not agree, dainty
But I see you lightly
As a firefly, made a clear description
Moves so gently
Freely

When time means a delusion
I can hold you assembly
I can own you psyche
As freely as a haze can be

*Heute voller Scheisse, Schatz